1. Pendahuluan
Dalam
jangka yang cukup lama, seperti diungkap oleh Yule (1996: 6), studi bahasa
sangat dikuasai oleh kecenderungan untuk menjelaskan bahasa berdasarkan sistem
formalnya, yaitu dengan menurunkan sistem yang terdapat dalam matematika dan
logika, dan mengabaikan unsur pengguna bahasa. Sebagai tataran terbaru dalam
linguistik, Pragmatik merupakan satu-satunya tataran yang turut memperhitungkan
manusia sebagai pengguna bahasa. Meskipun memiliki fokus kajian yang serupa
dengan semantik, yaitu makna, seperti akan saya jelaskan kemudian, makna yang
dikaji dalam pragmatik berbeda dengan makna yang dikaji dalam semantik.
Tuliaan ini
bertujuan menjelaskan pentingnya bidang kajian pragmatik untuk dipelajari dalam
studi linguistik. Untuk tujuan tersebut, saya mengawali tulisan ini dengan
pembahasan mengenai pengertian pragmatik, perkembangannya, menjelaskan secara
singkat topik-topik bahasannya, dan, dengan melihat perbedaan kajiannya dengan
bidang lain dalam linguistik, menunjukkan pentingnya pragmatik.
2. Definisi Pragmatik
Para
pakar pragmatik mendefinisikan istilah ini secara berbeda-beda. Yule (1996: 3),
misalnya, menyebutkan empat definisi pragmatik, yaitu (1) bidang yang mengkaji
makna pembicara; (2) bidang yang mengkaji makna menurut konteksnya; (3) bidang
yang, melebihi kajian tentang makna yang diujarkan, mengkaji makna yang
dikomunikasikan atau terkomunikasikan oleh pembicara; dan (4) bidang yang
mengkaji bentuk ekspresi menurut jarak sosial yang membatasi partisipan yang
terlibat dalam percakapan tertentu.
Thomas
(1995: 2) menyebut dua kecenderungan dalam pragmatik terbagi menjadi dua
bagian, pertama, dengan menggunakan sudut pandang sosial, menghubungkan
pragmatik dengan makna pembicara (speaker meaning); dan kedua, dengan
menggunakan sudut pandang kognitif, menghubungkan pragmatik dengan interpretasi
ujaran (utterance interpretation). Selanjutnya Thomas (1995: 22), dengan
mengandaikan bahwa pemaknaan merupakan proses dinamis yang melibatkan negosiasi
antara pembicara dan pendengar serta antara konteks ujaran (fisik, sosial, dan
linguistik) dan makna potensial yang mungkin dari sebuah ujaran ujaran,
mendefinisikan pragmatik sebagai bidang yang mengkaji makna dalam interaksi (meaning
in interaction).
Leech
(1983: 6 (dalam Gunarwan 2004: 2)) melihat pragmatik sebagai bidang kajian
dalam linguistik yang mempunyai kaitan dengan semantik. Keterkaitan ini ia
sebut semantisisme, yaitu melihat pragmatik sebagai bagian dari semantik;
pragmatisisme, yaitu melihat semantik sebagai bagian dari pragmatik; dan
komplementarisme, atau melihat semantik dan pragmatik sebagai dua bidang yang
saling melengkapi.
3. Perkembangan Pragmatik
Mey
(1998), seperti dikutip oleh Gunarwan (2004: 5), mengungkapkan bahwa pragmatik
tumbuh dan berkembang dari empat kecenderungan atau tradisi, yaitu: (1)
kecenderungan antisintaksisme; (2) kecenderungan sosial-kritis; (3) tradisi
filsafat; dan (4) tradisi etnometodologi.
Kecenderungan
yang pertama, yang dimotori oleh George Lakoff dan H. John Robert Ross, menolak
pandangan sintaksisme Chomsky, yaitu bahwa dalam kajian bahasa yang sentral
adalah sintaksis, dan bahwa fonologi, morfologi, dan semantik bersifat
periferal. Menurut Lakoff dan Ross, keapikan sintaksis (well-formedness)
bukanlah segalanya, sebab, seperti sering kita jumpai, komunikasi tetap dapat
berjalan dengan penggunaan bentuk yang tidak apik secara sintaksis (ill-formed),
bahkan semantik (Gunarwan 2004: 6).
Kecenderungan
kedua, yang tumbuh di Eropa, tepatnya di Britania, Jerman, dan Skandinavia (Mey
1998: 717 (dalam Gunarwan 2004: 6)), muncul dari keperluan terhadap ilmu bahasa
yang secara sosial relevan, bukan yang sibuk dengan deskripsi bahasa
semata-mata secara mandiri.
Tradisi
yang ketiga, yang dipelopori oleh Bertrand Russell, Ludwig Wittgenstein, dan
terutama John L. Austin dan John R. Searle, adalah tradisi filsafat. Para pakar
tersebut mengkaji bahasa, termasuk penggunaannya, dalam kaitannya dengan logika.
Leech (1983: 2), seperti dikutip Gunarwan (2004: 7), mengemukakan bahwa
pengaruh para filsuf bahasa, misalnya Austin, Searle, dan Grice, dalam
pragmatik lebih besar daripada pengaruh Lakoff dan Ross.
Tradisi
yang keempat adalah tradisi tradisi etnometodologi, yaitu cabang sosiologi yang
mengkaji cara para anggota masyarakat tutur (speech community)
mangorganisasi dan memahami kegiatan mereka. Dalam etnometodologi, bahasa
dikaji bukan berdasarkan aspek kegramatikalannya, melainkan berdasarkan cara
para peserta interaksi saling memahami apa yang mereka ujarkan. Dengan kata
lain, kajian bahasa dalam etnometodologi lebih ditekankan pada komunikasi,
bukan tata bahasa (Gunarwan 2004: 6).
4. Beberapa Topik Pembahasan dalam Pragmatik
a. Teori Tindak-Tutur
Melalui
bukunya, How to Do Things with Words, Austin dapat dianggap sebagai
pemicu minat yang paling utama dalam kajian pragmatik. Sebab, seperti diungkap
oleh Marmaridou (2000: 1 (dalam Gunarwan 2004: 8)), sejak itu bidang kajian ini
telah berkembang jauh, sehingga kita dapat melihat sejumlah kecenderungan dalam
pragmatik, yaitu pragmatik filosofis (Austin, Searle, dan Grice), pragmatik neo-Gricean
(Cole), pragmatik kognitif (Sperber dan Wilson), dan pragmatik interaktif
(Thomas).
Austin, seperti
dikutip oleh Thomas (1995: 29-30), bermaksud menyanggah pendapat filosof
positivisme logis, seperti Russel dan Moore, yang berpendapat bahwa bahasa yang
digunakan sehari-hari penuh kontradiksi dan ketaksaan, dan bahwa pernyataan
hanya benar jika bersifat analitis atau jika dapat diverifikasi secara empiris.
Contoh.
(1) Ada enam kata dalam kalimat ini
(2) Presiden RI
adalah Soesilo Bambang Yoedoyono
Dari contoh di atas, dapat dipahami bahwa para filosof
yang dikritik Austin ini mengevaluasi pernyataan berdasarkan benar atau salah (truth
condition), yaitu, sesuai contoh di atas, kalimat (1) benar secara analitis
dan kalimat (2) benar karena sesuai dengan kenyataan. Persyaratan kebenaran ini
kemudian diadopsi oleh linguistik sebagai truth conditional semantics (Thomas
1995: 30).
Austin
(dalam Thomas 1995: 31) berpendapat bahwa salah satu cara untuk membuat
pembedaan yang baik bukanlah menurut kadar benar atau salahnya, melainkan
melalui bagaimana bahasa dipakai sehari-hari. Melalui hipotesis performatifnya,
yang menjadi landasan teori tindak-tutur (speech-act), Austin
berpendapat bahwa dengan berbahasa kita tidak hanya mengatakan sesuatu (to make
statements), melainkan juga melakukan sesuatu (perform actions).
Ujaran yang bertujuan mendeskripsikan sesuatu disebut konstatif dan ujaran yang
bertujuan melakukan sesuatu disebut performatif. Yang pertama tunduk pada
persyaratan kebenaran (truth condition) dan yang kedua tunduk pada
persyaratan kesahihan (felicity condition) (Gunarwan 2004: 8). Contoh.
(3) Dengan ini,
saya nikahkan kalian (performatif)
(4) Rumah Joni terbakar (konstatif)
Selanjutnya Austin, seperti juga ditekankan lebih
lanjut oleh Searle (dalam Gunarwan 2004: 9), memasukkan ujaran konstatif,
karena memiliki struktur dalam yang mengandungi makna performatif, sebagai
bagian dari performatif (Austin 1962: 52 dan Thomas 1995: 49). Dalam contoh
(4), struktur dalam ujaran tersebut dapat saja berbunyi Saya katakan bahwa
rumah Joni terbakar.
Tindakan
yang dihasilkan dengan ujaran ini mengandung tiga tindakan lain yang
berhubungan, yaitu lokusi (locutionary act), ilokusi (illocutionary
act), dan perlokusi (perlocutionary act) (Yule 1996: 48). Tindak
lokusioner berkaitan dengan produksi ujaran
yang bermakna, tindak ilokusioner terutama berkaitan dengan intensi atau maksud pembicara, dan tindak
perlokusioner berkaitan dengan efek pemahaman
pendengar terhadap maksud pembicara yang terwujud dalam tindakan (Thomas
1995: 49). Tindak-tutur, seperti dikembangkan lebih jauh oleh Searle (dalam
Gunarwan 2004: 9), dapat berupa tindak-tutur langsung (direct speech-act)
dan tindak-tutur tidak langsung (indirect speech-act). Dalam direct
speeh-act terdapat hubungan langsung antara struktur kalimat dengan fungsinya, sedangkan dalam indirect speech-act
hubungannya tidak langsung atau
menggunakan (bentuk) tindak-tutur lain (Gunarwan 2004: 9; dan Yule 1996:
54-55).
Selain
itu, Searle juga menyebut lima jenis fungsi tindak-tutur, yaitu asertif (assertive),
direktif (directive), komisif (comissive), ekspresif (expressive),
dan deklarasi (declaration) (Littlejohn 2002: 80; dan Yule 1996: 53-54).
Asertif atau representatif merupakan tindak-tutur yang menyatakan tentang
sesuatu yang dipercayai pembicaranya benar; direktif merupakan tindak-tutur yang
menghendaki pendengarnya melakukan sesuatu; komisif merupakan tindak-tutur yang
digunakan pembicaranya untuk menyatakan sesuatu yang akan dilakukannya;
ekspresif merupakan tindak-tutur yang menyatakan perasaan pembicaranya; dan
deklarasi merupakan tindak-tutur yang mengubah status sesuatu.
b. Prinsip Kerja Sama (Cooperative Principle)
Grice
mengemukakan bahwa percakapan yang terjadi di dalam anggota masyarakat
dilandasi oleh sebuah prinsip dasar, yaitu prinsip kerja sama (cooperative
principle) (Yule 1996: 36-37 dan Thomas 1995: 61). Kerja sama yang terjalin
dalam komunikasi ini terwujud dalam empat bidal (maxim), yaitu (1) bidal
kuantitas (quantity maxim), memberi informasi sesuai yang diminta; (2)
bidal kualitas (quality maxim), menyatakan hanya yang menurut kita benar
atau cukup bukti kebenarannya; (3) bidal relasi (relation maxim),
memberi sumbangan informasi yang relevan; dan (4) bidal cara (manner maxim),
menghindari ketidakjelasan pengungkapan, menghindari ketaksaan, mengungkapkan
secara singkat, mengungkapkan secara beraturan (Gunarwan 2004: 11 dan Thomas
1995: 63-64).
Berkaitan
dengan prinsip kerja sama Grice di atas, pada kenyataannya, dalam komunikasi
kadang kita tidak mematuhi prinsip tersebut. Hal ini, seperti diungkap oleh
Gunarwan (2004: 12-14), didasarkan atas beberapa alasan, misalnya untuk
memberikan informasi secara tersirat (implicature) dan menjaga muka
lawan bicara (politeness).
c. Implikatur (Implicature)
Grice, seperti diungkap oleh Thomas (1995: 57),
menyebut dua macam implikatur, yaitu implikatur konvensional dan implikatur
konversasional. Implikatur konvensional merupakan implikatur yang dihasilkan
dari penalaran logika, ujaran yang mengandung implikatur jenis ini, seperti
diungkap oleh Gunarwan (2004: 14), dapat dicontohkan dengan penggunaan kata bahkan.
Implikatur konversasional merupakan implikatur yang dihasilkan karena tuntutan
konteks tertentu (Thomas 1995: 58). Contoh.
(5) Bahkan Bapak Menteri Agama
menghadiri sunatan anak saya
(6) Saya kebetulan ke Inggris untuk
studi selama dua tahun dan berangkat besok
Contoh (5) di atas merupakan implikatur konvensional
yang berarti Bapak Menteri Agama biasanya tidak menghadiri acara sunatan,
sedangkan contoh (6) merupakan implikatur konversasional yang bermakna ‘tidak’
dan merupakan jawaban atas pertanyaan maukah Anda menghadiri selamatan
sunatan anak saya?
Berbeda
dengan Grice, menurut Gazdar, dengan menggunakan prinsip kerja sama Grice,
implikatur dapat dibedakan menjadi implikatur khusus dan implikatur umum. Yang
pertama ada karena konteks ujaran, misalnya contoh (6) di atas, sedangkan yang
kedua tidak, misalnya contoh (5) di atas.
d. Teori Relevansi
Teori
relevansi yang dikembangkan oleh Sperber dan Wilson merupakan kritik terhadap
empat maksim yang terdapat dalam prinsip kerja sama Grice. Menurut mereka,
bidal yang terpenting dalam teori Grice adalah bidal relevansi, dan percakapan
dapat terus berjalan meski hanya melalui bidal ini. Dalam teori relevansi
dipelajari bagaimana sebuah muatan pesan dapat dipahami oleh penerimanya.
Sperber dan Wilson (1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menyebutkan
bahwa bahasa dalam penggunaannya (language in use) selalu dapat
diidentifikasi melalui hal yang disebutnya indeterminacy atau underspecification.
Melalui hal tersebut, penerima pesan (addressee) hanya memilih sesuatu
yang dianggapnya relevan dengan apa yang hendak disampaikan oleh pengirim pesan
(addresser) dalam konteks komunikasi tertentu. Contoh.
(7) Pastikan semua pintu terkunci
jika meninggalkan ruangan ini.
Setiap pembaca dapat memahami bahwa pesan ini hanya
berlaku jika ia akan meninggalkan ruangan tersebut untuk terakhir kalinya,
bukan untuk setiap kali meninggalkan ruangan, misalnya untuk ke kamar mandi.
Dengan kata lain, pesan ini berada dalam spesifikasi tertentu yang disepakati
oleh addresser dan addressee dalam konteks komunikasi.
Selanjutnya,
untuk menjelaskan cara sebuah pesan dipahami penerimanya, Sperber dan Wilson
(1995), seperti dikutip oleh Renkema (2004: 22), menetapkan tiga macam hubungan
antara cue dan implicature, yaitu: pertama, ujaran merupakan
sebentuk tindakan dari komunikasi ostensif, misalnya tindakan untuk membuat
sesuatu menjadi jelas dan dapat dimengerti oleh penerima pesan; kedua,
komunikasi tidak hanya memasukkan apa yang ada dalam pikiran pengirim pesan ke
dalam pikiran penerima pesan, namun mencakup perluasan wilayah kognitif (cognitive
environment) kedua belah pihak. Misalnya pada contoh (7) di atas, pengirim
pesan dapat memperkirakan reaksi penerima pesan terhadap pesan yang
disampaikannya, yaitu tidak perlu mengunci pintu jika keluar dalam batasan
waktu dan situasi yang diperkirakan cukup aman; dan ketiga, explicature atau
degree of relevance, tahapan yang harus dilewati untuk memahami
implikatur dalam percakapan. Contoh yang ditulis Renkema (2004: 23) di bawah
ini memberikan gambaran yang cukup jelas.
(8) A: Well, there is a shuttle
service sixty euros one-way, when do you want to go?
B: At
the weekend.
A: What
weekend?
B: Next
weekend. How does it works? You just turn up for the shuttle service?
A: That
might be cheaper. Then that's fifty.
Dalam
percakapan di atas, pemahaman penerima pesan terhadap apa yang hendak
disampaikan oleh pengirim pesan terjadi melalui beberapa tahapan. Dalam
percakapan tersebut, B mengira A mengerti bahwa at the weekend berarti next
weekend, padahal A harus memastikan dengan jelas setiap pemesanan pembelian
tiket. Begitu juga A, ia mengandaikan B dapat mengerti bahwa that migh be
cheaper dapat berarti If you purchase a ticket now, you have booked seat
which costs 60 euros. If you buy ticket when you turn up, it costs 50 euros. Dalam
hal ini, ujaran at the weekend, dalam pengertian degree of relevance,
merupakan ujaran yang relevansinya rendah dan membutuhkan processing effort yang
lebih besar, sedangkan that might be cheaper merupakan ujaran yang
relevansinya lebih baik; karena semakin tinggi contextual effect maka
semakin rendah ia membutuhkan processing effort.
e. Kesantunan (Politeness)
Konsep
strategi kesantunan yang dikembangkan oleh Brown dan Levinson diadaptasi dari
konsep face yang diperkenalkan oleh seorang sosiolog bernama Erving
Goffman (1956) (Renkema 2004: 24-25). Menurut Goffman (1967: 5), yang dikutip
oleh Jaszczolt (2002: 318), "face merupakan gambaran citra diri
dalam atribut sosial yang telah disepakati". Dengan kata lain, face dapat
diartikan kehormatan, harga diri (self-esteem), dan citra diri di depan
umum (public self-image). Menurut Goffman (1956), seperti dikutip oleh
Renkema (2004: 25), setiap partisipan memiliki dua kebutuhan dalam setiap
proses sosial: yaitu kebutuhan untuk diapresiasi dan kebutuhan untuk bebas
(tidak terganggu). Kebutuhan yang pertama disebut positive face, sedangkan
yang kedua disebut negative face.
Berdasarkan
konsep face yang dikemukakan oleh Goffman ini, Brown dan Levinson (1978)
membangun teori tentang hubungan intensitas FTA dengan kesantunan yang
terrealisasi dalam bahasa (Renkema 2004: 25). Intensitas FTA diekspresikan
dengan bobot atau weight (W) yang mencakup tiga parameter sosial, yaitu:
pertama, tingkat gangguan atau rate of imposition (R), berkenaan dengan
bobot mutlak (absolute weight) tindakan tertentu dalam kebudayaan
tertentu, misalnya permintaan "May I borrow your car?" mempunyai
bobot yang berbeda dengan permintaan "May I borrow your pen?"; kedua,
jarak sosial atau social distance (D) antara pembicara dengan lawan
bicaranya, misalnya bobot kedua permintaan di atas tidak terlalu besar jika
kedua ungkapan tersebut ditujukan kepada saudara sendiri; dan ketiga, kekuasaan
atau power (P) yang dimiliki lawan bicara (Renkema 2004: 26). Contoh.
(9) a. Maaf, Pak, boleh tanya?
b. Numpang tanya, Mas?
Dalam contoh di atas terlihat jelas, ujaran (9a)
mungkin diucapkan pembicara yang secara sosial lebih rendah dari lawan
bicaranya, misalnya mahasiswa kepada dosen atau yang muda kepada yang tua;
sedangkan ujaran (9b) mungkin diucapkan kepada orang yang secara sosial
jaraknya lebih dekat (9a).
Politeness
(kesantunan)
dalam hal ini dapat dipahami sebagai upaya pencegahan dan atau perbaikan dari
kerusakan yang ditimbulkan oleh FTA; semakin besar intensitas FTA mengancam
stabilitas komunikasi, maka politeness strategy semakin dibutuhkan. Politeness,
face work technique, yang bertujuan untuk mendapatkan positive face disebut
solidarity politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan pujian;
sedangkan politeness yang dilakukan untuk tujuan sebaliknya disebut respect
politeness, dapat dilakukan, misalnya dengan melakukan tindakan yang tidak
kooperatif dalam komunikasi (Renkema 2004: 25). Berkaitan dengan politeness
strategy ini, Brown dan Levinson (1978), seperti diungkapkan oleh Renkema
(2004: 26), dalam penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat banyak cara untuk
menghindari FTA yang dapat direduksi menjadi lima macam cara. Kelima strategi
tersebut diurut berdasarkan tingkat resiko "kehilangan muka"; semakin
tinggi resiko kehilangan muka, maka semakin kecil kemungkinan pembicara
melakukan FTA. Dalam hal ini, Renkema (2004: 27) memberi contoh strategi tersebut.
(5) a. Hey, lend me a hundred
dollars. (baldly)
b. Hey, friend, could you lend me a
hundred bucks? (positive polite)
c. I'm sorry I have to ask, but
could you lend me a hundred dollars? (negative polite)
e. Oh no, I'm out of cash! I forgot
to go to the bank today. (off record)
Teori
kesantunan lain dibahas oleh Leech (1983). Pakar ini membahas teori kesantunan
dalam kerangka retorika interpersonal (Eelen 2001: 6). Dalam hal ini, Leech
(dalam Eelen 2001: 8) menyebutkan enam bidal kesantunan, yaitu bidal
kebijaksanaan (tact maxim), bidal kedermawanan (generosity maxim),
bidal pujian (approbation maxim), bidal kerendahhatian (modesty maxim),
bidal kesetujuan (aggreement maxim), bidal simpati (sympathy maxim);
dan, seperti diungkap oleh Gunarwan (2004: 19), ditambah bidal pertimbangan (consideration
maxim).
5. Pragmatik dalam Linguistik
Seperti telah saya uraikan sedikit dalam sub 3 di
atas, salah satu kecenderungan yang melatarbelakangi berkembangnya pragmatik
adalah antisintaksisme Lakoff dan Ross. Dalam sintaksis, seperti dikemukakan
oleh Yule (1996: 4), dipelajari bagaimana hubungan antarbentuk linguistis,
bagaimana bentuk-bentuk tersebut dirangkai dalam kalimat, dan bagaimana
rangkaian tersebut dapat dinyatakan well-formed secara gramatikal. Secara
umum, sintaksis tidak mempersoalkan baik makna yang ditunjuknya maupun pengguna
bahasanya, sehingga bentuk seperti kucing menyapu halaman, meskipun
tidak dapat diverifikasi secara empiris, tetap dapat dinyatakan apik secara
sintaksis.
Dalam kehidupan sehari-hari,
penggunaan bahasa tidak semata-mata didasarkan atas prinsip well-formed dalam
sintaksis, melainkan atas dasar kepentingan agar komunikasi tetap dapat
berjalan. Lebih tepatnya, dengan mengikuti kecenderungan dalam etnometodologi,
bahasa digunakan oleh masyarakat tutur sebagai cara para peserta interaksi
saling memahami apa yang mereka ujarkan. Atas dasar ini, pertama, dapat
dipahami, dan memang sering kita temukan, bahwa komunikasi tetap dapat berjalan
meskipun menggunakan bahasa yang tidak apik secara sintaksis; dan kedua, demi
kebutuhan para anggota masyarakat tutur untuk mangorganisasi dan memahami
kegiatan mereka, selain tata bahasa, makna juga merupakan hal yang tidak dapat
diabaikan dalam analisis bahasa. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa
perbedaan utama antara sintaksis dan pragmatik, sekaligus menyatakan pentingnya
studi pragmatik dalam linguistik, terletak pada makna ujaran dan pada pengguna
bahasa.
Pembahasan tentang makna membawa
kita pada pentingnya semantik, yaitu tataran linguistik yang mengkaji hubungan
antara bentuk-bentuk linguistik (linguistic forms) dan entitas yang
terdapat di luar bahasa, dalam analisis bahasa. Berdasarkan truth
conditional semantics, untuk dapat dinyatakan benar, sebuah pernyataan
harus dapat diverifikasi secara empiris atau harus bersifat analitis. Dengan
demikian, bentuk kucing menyapu halaman adalah bentuk yang tidak
berterima secara semantis, karena tidak dapat diverifikasi secara empiris dan
bukan termasuk pernyataan logika. Namun demikian, pembahasan makna dalam
semantik belum memadai, karena masih mengabaikan unsur pengguna bahasa,
sehingga bentuk seperti seandainya saya dapat berdiri tentu saya tidak akan
dapat berdiri dan saya akan datang besok pagi, meskipun bentuk
seperti ini dapat saja kita jumpai, tidak dapat dinyatakan benar karena
yang pertama menyalahi logika dan yang kedua tidak dapat diverifikasi langsung.
Dengan kata lain, untuk menjelaskan fenomena pemakaian bahasa sehari-hari, di
samping sintaksis dan semantik, dibutuhkan juga pragmatik yang dalam hal ini
saya pahami sebagai bidang yang mengkaji hubungan antara struktur yang
digunakan penutur, makna apa yang dituturkan, dan maksud dari tuturan. Kegunaan
pragmatik, yang tidak terdapat dalam sintaksis dan semantik, dalam hal ini
dapat ditunjukkan dengan, misalnya, bagaimana strategi kesantunan mempengaruhi
penggunaan bahasa, bagaimana memahami implikatur percakapan, dan bagaimana
kondisi felisitas yang memungkinkan bagi sebuah tindak-tutur.
Selanjutnya,
untuk melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik, saya akan mengemukakan
pendapat Leech (1980). Menurut Leech (dalam Eelen 2001: 6) perbedaan antara
semantik dan pragmatik pada, pertama, semantik mengkaji makna (sense)
kalimat yang bersifat abstrak dan logis, sedangkan pragmatik mengkaji hubungan
antara makna ujaran dan daya (force) pragmatiknya; dan kedua, semantik
terikat pada kaidah (rule-governed), sedangkan pragmatik terikat
pada prinsip (principle-governed). Tentang perbedaan yang pertama,
meskipun makna dan daya adalah dua hal yang berbeda, keduanya tidak dapat
benar-benar dipisahkan, sebab daya mencakup juga makna. Dengan kata lain,
semantik mengkaji makna ujaran yang dituturkan, sedangkan pragmatik mengkaji
makna ujaran yang terkomunikasikan atau dikomunikasikan. Selanjutnya, kaidah
berbeda dengan prinsip berdasarkan sifatnya. Kaidah bersifat deskriptif,
absolut atau bersifat mutlak, dan memiliki batasan yang jelas dengan kaidah
lainnya, sedangkan prinsip bersifat normatif atau dapat diaplikasikan secara
relatif, dapat bertentangan dengan prinsip lain, dan memiliki batasan yang
bersinggungan dengan prinsip lain.
Lebih
jauh lagi, dalam pengajaran bahasa, seperti diungkapkan Gunarwan (2004: 22),
terdapat keterkaitan, yaitu bahwa pengetahuan pragmatik, dalam arti praktis,
patut diketahui oleh pengajar untuk membekali pemelajar dengan pengetahuan
tentang penggunaan bahasa menurut situasi tertentu. Dalam pengajaran bahasa
Indonesia, misalnya, pengetahuan ini penting untuk membimbing pemelajar agar
dapat menggunakan ragam bahasa yang sesuai dengan situasinya, karena selain
benar, bahasa yang digunakan harus baik. Dalam pengajaran bahasa asing,
pengetahuan tentang prinsip-prinsip pragmatik dalam bahasa yang dimaksud
penting demi kemampuan komunikasi yang baik dalam bahasa tersebut. Secara umum,
dapat disimpulkan bahwa kaitan antara pragmatik dan pengajaran bahasa adalah
dalam hal kompetensi komunikatif yang mencakup tiga macam kompetensi lain
selain kompetensi gramatikal (grammatical competence), yaitu kompetensi
sosiolinguistik (sociolinguistic competence) yang berkaitan dengan
pengetahuan sosial budaya bahasa tertentu, kompetensi wacana (discourse
competence) yang berkaitan dengan kemampuan untuk menuangkan gagasan secara
baik, dan kompetensi strategik (strategic competence) yang berkaitan
dengan kemampuan pengungkapan gagasan melalui beragam gaya yang berlaku khusus
dalam setiap bahasa.
6. Penutup
Seperti
telah disebutkan di muka, tujuan tulisan ini adalah menunjukkan bahwa pragmatik
penting dipelajari dalam program studi linguistik. Berdasarkan penjelasan di
atas, saya melihat pentingnya pragmatik dalam linguistik setidaknya dalam dua
hal, pertama, pragmatik merupakan satu-satunya tataran dalam linguistik yang
mengkaji bahasa dengan memperhitungkan juga penggunanya; kedua, berkaitan
dengan ketidakmampuan sintaksis dan semantik dalam menjelaskan fenomena
penggunaan bahasa sehari-hari, saya melihat kedudukan semantik dan pragmatik
sebagai dua hal yang saling melengkapi. Selain itu, berkaitan dengan pengajaran
bahasa, pragmatik berperan dalam pengembangan kompetensi komunikatif.
Daftar Acuan
Austin, John L. 1962. How to Do
Things with Word (edisi kedua). Oxford: Oxfod University Press.
Brown, Penelope., dan Stephen C.
Levinson. 1978. Politeness: Some Universal in Language Usage. Cambridge:
Cambridge University Press.
Eelen, Gino. 2001. A Critique of
Politeness Theories. Manchester, UK: St. Jerome Publishing
Gunarwan, Asim. 2004. Dari
Pragmatik ke Pengajaran Bahasa (Makalah Seminar Bahasa dan Sastra Indonesia dan
Daerah). IKIP Singaraja.
Jaszczolt, K.M. 2002. Semantics
and Pragmatics: Meaning in Language and Discourse. Edinburgh: Pearson
Education.
Renkema, Jan. 2004. Introduction
to Discourse Studies. Amsterdam: John Benjamins Publishing Company.
Thomas. Jenny. 1995. Meaning in
Interaction: an Introduction to Pragmatics. London/New York: Longman.
Yule, George. 1996. Pragmatics. Oxford. Oxford
University Press.