pragmatics (n) - pragmatik - pragmatika
pragmatis (adj) : melihat sesuatu dari kegunaan
pragmatisme: aliran yang melihat sesuatu dari kegunaan
Dalam komunikasi, satu maksud atau satu
fungsi dapat diungkapkan dengan berbagai bentuk/struktur. Untuk maksud
“menyuruh” orang lain, penutur dapat mengungkapkannya dengan kalimat imperatif,
kalimat deklaratif, atau bahkan dengan kalimat interogatif. Dengan demikian,
pragmatik lebih cenderung ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Pragmatik
berbeda dengan semantik dalam hal pragmatik mengkaji maksud ujaran dengan
satuan analisisnya berupa tindak tutur (speech act), sedangkan semantik
menelaah makna satuan lingual (kata atau kalimat) dengan satuan analisisnya
berupa arti atau makna.
Kajian pragmatik lebih menitikberatkan
pada ilokusi dan perlokusi daripada lokusi sebab di dalam ilokusi terdapat daya
ujaran (maksud dan fungsi tuturan), perlokusi berarti terjadi tindakan sebagai
akibat dari daya ujaran tersebut. Sementara itu, di dalam lokusi belum terlihat
adanya fungsi ujaran, yang ada barulah makna kata/kalimat yang diujarkan.
Berbagai tindak tutur (TT) yang terjadi
di masyarakat, baik TT representatif, direktif, ekspresif, komisif, dan
deklaratif, TT langsung dan tidak langsung, maupun TT harafiah dan tidak
harafiah, atau kombinasi dari dua/lebih TT tersebut, merupakan bahan sekaligus
fenomena yang sangat menarik untuk dikaji secara pragmatis. Misalnya,
bagaimanakah TT yang dilakukan oleh orang Sunda apabila ingin menyatakan suatu
maksud tertentu, seperti nitah ‘menyuruh’, nginjeum ‘meminjam’, menta
‘meminta’, ngalem ‘memuji’, jangji ‘berjanji’, nyarek ‘melarang’, dan ngahampura ‘memaafkan’.
Pengkajian TT tersebut tentu menjadi semakin menarik apabila peneliti mau mempertimbangkan
prinsip kerja sama Grice dengan empat maksim: kuantitas, kualitas, hubungan,
dan cara; serta skala pragmatik dan derajat kesopansantunan yang dikembangkan
oleh Leech (1983).
A. Pragmatik
dan Fungsi Bahasa
Bidang “pragmatik” dalam linguistik
dewasa ini mulai mendapat perhatian para peneliti dan pakar bahasa di
Indonesia. Bidang ini cenderung mengkaji fungsi ujaran atau fungsi bahasa
daripada bentuk atau strukturnya. Dengan kata lain, pragmatik lebih cenderung
ke fungsionalisme daripada ke formalisme. Hal itu sesuai dengan pengertian
pragmatik yang dikemukakan oleh Levinson (1987: 5 dan 7), pragmatik adalah
kajian mengenai penggunaan bahasa atau kajian bahasa dan perspektif fungsional.
Artinya, kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek struktur bahasa dengan
mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab nonbahasa.
Fungsi bahasa yang paling utama adalah
sebagai sarana komunikasi. Di dalam komunikasi, satu maksud atau satu fungsi
dapat dituturkan dengan berbagai bentuk tuturan. Misalnya, seorang guru yang
bermaksud menyuruh muridnya untuk mengambilkan kapur di kantor, dia dapat
memilih satu di antara tuturan-tuturan berikut:
(1) tidak ada kapur!
(2) Kapurnya
habis.
(3) Ibu
minta kapur.
(4) kapurnya
tidak ada.
(5) Di sini tidak ada kapur, ya?
(6) mengapa tidak ada yang mengambil
kapur?
Dengan
demikian untuk maksud “menyuruh” agar seseorang melakukan suatu tindakan dapat
diungkapkan dengan menggunakan kalimat imperatif seperti tuturan (1), kalimat
deklaratif seperti tuturan (2-4), atau kalimat interogatif seperti tuturan
(5-6). Jadi, secara pragmatis, kalimat berita (deklaratif) dan kalimat tanya
(interogatif) di samping berfungsi untuk memberitakan atau menanyakan sesuatu
juga berfungsi untuk menyuruh (imperatif atau direktif).
Pragmatik
dan Semantik
Sebelum
dikemukakan batasan pragmatik kiranya perlu dijelaskan lebih dahulu perbedaan
antara pragmatik dengan semantik.
1.
Semantik mempelajari makna, yaitu
makna kata dan makna kalimat, sedangkan pragmatik mempelajari maksud ujaran,
yaitu untuk apa ujaran itu dilakukan.
2.
Kalau semantik bertanya “Apa makna
X?” maka pragmatik bertanya “Apa yang Anda maksudkan dengan X?”
3.
Makna di dalam semantik ditentukan
oleh koteks, sedangkan makna di dalam pragmatik ditentukan oleh konteks, yakni
siapa yang berbicara, kepada siapa, di mana, bilamana, bagaimana, dan apa
fungsi ujaran itu. Berkaitan dengan perbedaan (c) ini, Kaswanti Purwo (1990:
16) merumuskan secara singkat “semantik bersifat bebas konteks (context
independent), sedangkan pragmatik bersifat terikat konteks (context
dependent)” (bandingkan Wijana, 1996: 3).
B. Definisi
pragmatik:
1.
cabang ilmu bahasa yang menelaah
penggunaan bahasa. Satuan-satuan lingual dalam penggunaannya.
2.
studi kebahasaan yang terikat
konteks.
3.
studies meaning in relation to
speech situation (Leech, 1983).
4.
cabang ilmu bahasa yang mempelajari
struktur bahasa secara eksternal, yakni bagaimana satuan kebahasaan digunakan
dalam komunikasi (Wijana, 1996: 2).
Cukup banyak kiranya batasan atau
definisi mengenai pragmatik. Levinson (1987: 1-53), misalnya, membutuhkan 53
halaman hanya untuk menerangkan apakah pragmatik itu dan apa saja yang menjadi
cakupannya. Di sini dikutipkan beberapa di antaranya yang dianggap cukup
penting.
1.
Pragmatik adalah kajian mengenai
hubungan antara tanda (lambang) dengan penafsirnya, sedangkan semantik adalah
kajian mengenai hubungan antara tanda (lambang) dengan objek yang diacu oleh
tanda tersebut.
2.
Pragmatik adalah kajian mengenai
penggunaan bahasa, sedangkan semantik adalah kajian mengenai makna.
3.
Pragmatik adalah kajian bahasa dan
perspektif fungsional, artinya kajian ini mencoba menjelaskan aspek-aspek
struktur linguistik dengan mengacu ke pengaruh-pengaruh dan sebab-sebab
nonlinguistik.
4.
Pragmatik adalah kajian mengenai
hubungan antara bahasa dengan konteks yang menjadi dasar dari penjelasan
tentang pemahaman bahasa.
5. Pragmatik
adalah kajian mengenai deiksis, implikatur, praanggapan, tindak tutur, dan
aspek-aspek struktur wacana.
6. Pragmatik adalah kajian mengenai bagaimana
bahasa dipakai untuk berkomunikasi, terutama hubungan antara kalimat dengan
konteks dan situasi pemakaiannya.
Dari beberapa definisi tersebut dapat
dipahami bahwa cakupan kajian pragmatik sangat luas sehingga sering dianggap
tumpang tindih dengan kajian wacana atau kajian sosiolinguistik. Yang jelas
disepakati ialah bahwa satuan kajian pragmatik bukanlah kata atau kalimat,
melainkan tindak tutur atau tindak ujaran (speech act).
Stephen C. Levinson telah mengumpulkan sejumlah batasan pragmatik yang
berasal dari berbagai sumber dan pakar, yang dapat dirangkum seperti berikut
ini.
1.
Pragmatik adalah telaah mengenai
hubungan tanda-tanda dengan penafsir (Morris, 1938:6). Teori pragmatik
menjelaskan alasan atau pemikiran para pembicara dan penyimak dalam menyusun
korelasi dalam suatu konteks sebuah tanda kalimat dengan suatu proposisi
(rencana, atau masalah). Dalam hal ini teori pragmatik merupakan bagian dari
performansi.
2.
Pragmatik adalah telaah mengenai
hubungan antara bahasa dan konteks yang tergramatisasikan atau disandikan dalam
struktur sesuatu bahasa.
3.
Pragmatik adalah telaah mengenai
segala aspek makna yang tidak tercakup dalam teori semantik, atau dengan
perkataaan lain: memperbincangkan segala aspek makna ucapan yang tidak dapat
dijelaskan secara tuntas oleh referensi langsung kepada kondisi-kondisi
kebenaran kalimat yang ciucapkan. Secara kasar dapat dirumuskan: pragmatik =
makna - kondisi-kondisi kebenaran.
4.
Pragmatik adalah telaah mengenai
relasi antara bahasa dan konteks yang merupakan dasar bagi suatu catatan atau
laporan pemahaman bahasa, dengan kata lain: telaah mengenai kemampuan pemakai
bahasa menghubungkan serta menyerasikan kalimat-kalimat dan konteks-konteks
secara tepat.
5.
Pragmatik adalah telaah mengenai
deiksis, implikatur, anggapan penutur (presupposition), tindak ujar, dan
aspek struktur wacana.
Parker
(1986: 11), pragmatics is distinct from grammar, which is the study of the
internal structure of language. Pragmatics is the study of how language is used
to communicate.
Pragmatik sebenarnya merupakan bagian
dari ilmu tanda atau semiotics atau semiotika. Pemakaian
istilah pragmatik (pragmatics) dipopulerkan oleh seorang filosof bernama
Charles Morris (1938), yang mempunyai perhatian besar pada ilmu
pengetahuan tentang tanda-tanda, atau semiotik (semiotics). Dalam
semiotik, Morris membedakan tiga cabang yang berbeda dalam
penyelidikan, yaitu: sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax)
yaitu telaah tentang relasi formal dari tanda yang satu dengan tanda yang lain
(mempelajari hubungan satuan lingual dengan satuan lingual lain: tanda dengan
tanda); semantik (semantics) yaitu telaah tentang hubungan
tanda-tanda dengan objek di mana tanda-tanda itu diterapkan (ditandainya) (atau
hubungan antara penanda dan petanda (signifiant dan signifie/yang ditandai));
dan pragmatik yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir (interpreters).
Ketiga cabang tersebut kemudian lebih dikenal dengan teori trikotomi.
Contoh:
Kok, sudah
pulang!
Isteri:
’betul-betul terkejut’ atau ’orang itu lama sekali perginya’
Suami
menafsirkan: siapa yang berbicara, kepada siapa, situasinya
bagaimana?
L. Witgenstein
(filsuf): makna adalah penggunaannya. Makna sebuah tuturan itu penggunaannya.
Cabang-cabang bahasa:
Fonologi: bunyi sebagai sistem
|
internal atau formal
diadik: bentuk dan makna
|
Morfologi: satuan gramatikal
terkecil.
|
|
Sintaksis: frase, klausa, kalimat,
wacana.
|
|
Semantik: makna (biasanya
leksikal).
|
|
Pragmatik: cabang ilmu bahasa yang
mempelajari makna satuan kebahasaan yang bersifat eksternal/bagaimana satuan
kebahasaan itu dikomunikasikan
|
eksternal atau fungsional
triadik: bentuk, makna, dan
maksud.
|
Semantik:
makna linguistik (makna), bersifat internal.
Pragmatik:
makna penutur (maksud), makna dalam penutur.
Contoh:
Wilujeng enjing!
makna:
menyapa
maksud:
tergantung siapa yang berbicara atau maksud
lain, misalnya menyindir atau memarahi.
Baik!
makna: baik,
siap (setuju)
maksud: bisa
tidak baik, dilihat dari berbagai faktor , ada hal-hal yang tidak langsung ’indirectness
atau secara tidak literal’.
Makna itu
berubah-ubah tergantung pada konteksnya. Jadi, sebenarnya semantik sudah diwakili
pragmatik.
Pragmatik:
bagaimana orang menafsirkan. Mempelajari satuan lingual itu ditafsirkan.
C. Asal-Usul dan
Historis Istilah Pragmatik
Pemakaian istilah pragmatik (pragmatics)
dipopulerkan oleh seorang filosof bernama Charles Morris (1938), yang mempunyai
perhatian besar pada ilmu pengetahuan tentang tanda-tanda, atau semiotik (semiotics).
Dalam semiotik, Morris membedakan tiga cabang yang berbeda dalam penyelidikan,
yaitu: sintaktik (syntactics) atau sintaksis (syntax) yaitu
telaah tentang relasi formal dari tanda yang satu dengan tanda yang lain,
semantik (semantics) yaitu telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan
objek di mana tanda-tanda itu diterapkan (ditandainya), dan pragmatik yaitu
telaah tentang hubungan tanda-tanda dengan penafsir (interpreters).
Ketiga cabang tersebut kemudian lebih dikenal dengan teori trikotomi.
Morris memberikan contoh interjeksi
seperti Oh!, Come here!, Good morning! dipengaruhi oleh hukum
pragmatik, yaitu bahwa variasi retoris dan alat puitis hanya muncul di bawah
kondisi tertentu dalam batas-batas pemakaian bahasa.
Akhirnya
pengarang menyimpulkan bahwa perbedaan pemakaian istilah pragmatik ditimbulkan
dari bagian asal-usul semantik karya Morris, yaitu suatu telaah dari
sebagian besar jajaran fenomena psikologis dan sosiologis yang mencakup sistem
tanda pada umumnya atau dalam bahasa tertentu (the Continental sense of the
term); atau telaah konsep abstrak tertentu yang membuat acuan pada pelaku (agents)
(satu gagasan dari Carnap); atau studi istilah indeksikal atau deiktis (deictis)
(gagasan Montague); atau akhirnya pemakaian dalam linguistik Anglo-American dan
filsafat.
Buku ini secara eksklusif menyangkut istilah pada gagasan yang terakhir dan
menerapkannya pada pembicaraan ini.
Contoh semantika:
kursi ’tempat duduk’
signifiant
(penanda) signifie
(petanda)
Terdapat
suatu prinsip:
Noam Chomsky:
Terdapat
hubungan satu lawan satu antara penanda dan petanda (signifiant
dan signifie).
Pragmatik:
Satu tanda
bisa menyatakan bermacam-macam maksud atau bermacam-macam tanda satu maksud.
Contoh:
’menolak’ bisa dinyatakan dengan
Tidak punya duit.
Rumahku sepi kok.
v
Lafal dan intonasi tuturan memengaruhi tingkat kesantunan.
v
Semakin langsung semakin tidak sopan,
semakin tidak langsung semakin sopan. Contoh: Aku pinjam motormu.
Bolehkah aku meminjam motormu?
Obyek data pragmatik itu konkrit, jelas, karena:
jelas kapan bahasa itu digunakan
siapa yang berbicara
kepada siapa.
Verhaar (Pengantar
Lingguistik Umum) menyatakan bahwa:
v
Makna
: ada pada satuan lingual (internal)
v
Maksud
: ada pada penutur (eksternal)
v
Informasi :
isi tuturan (internal)
Dia membeli buku
Buku dibelinya
|
(makna:
‘aktif’ dan ‘pasif’)
|
v Makna yang
abstrak, yang tidak jelas siapa penuturnya tidak jelas.
v Makna
kongkrit: makna tuturan.
Berkenaan
dengan data:
v Data kalimat
: sentence.
v Data
pragmatik: utterance (kalimat + konteks). Obyek data primer
adalah bahasa lisan. Bahasa tulis juga bisa asalkan mampu merekonstruksi
tuturan yang sebenarnya.
v Sosiolinguistik:
berkaitan dengan variasi bahasa.
Dia pergi ke
Surabaya. Ayahnya sakit. —-> terkait dengan wacana.
Menurut Halliday
(pakar Functional Grammar):
1. Field (medan):
siapa berbicara kepada siapa.
2. Tenor (pelibat):
misalnya, ayah dengan anak.
3. Mode (bentuk
bahasa): strategi memilih yang mana)
Pragmatik: retorika, bergantung
pada konteks situasi dan cara mengucapkannya.
Wacana lisan
Widowson:
1. Kalimat (sentence)
- minus konteks.
2. Tuturan (utterance)
- plus konteks.
3. Teks (texs)
- di atas kalimat minus konteks.
4. Wacana (discourse)
- di atas kalimat plus konteks.
Pustaka:
Austin, J.L. 1962. How to Do Things with Words.
(ed. J.O. Urmson). New York: Oxford University Press.
Harimurti
Kridalaksana. 1984. Kamus Linguistik. Jakarta: PT Gramedia.
Leech, Geoffrey. (Terjemahan M.D.D. Oka). 1993. Prinsip-prinsip
Pragmatik. Jakarta: Universitas Indonesia.
Richards, Jack dkk. 1989. Longman Dictionary of
Applied Linguistics. Longman: Longman Group UK Limited.
Searle,
John. 1969. Speech Acts. Cambridge: Cambridge University Press.
II.
TUTURAN PERFORMATIF DAN TUTURAN
KONSTATIF
Pendahuluan
Tuturan (utterance, oleh
Kridalaksana disebut dengan istilah ujaran): (1) regangan wicara bermakna
di antara dua kesenyapan aktual atau potensial, (2) kalimat atau bagian kalimat
yang dilisankan (Kridalaksana, 1984: 2001).
Intinya:
bahasa pada umumnya sebagai alat komunikasi, tetapi sebenarnya ada tindakan
tertentu yang baru dapat terlaksana kalau orang itu mengemukakan
tuturan/bahasa. Dengan demikian bahasa bukan semata-mata alat untuk menyatakan
sesuatu tetapi juga melakukan sesuatu.
Filosof J.L.
Austin membedakan antara tuturan performatif (performativei) dan
konstatif (constative).
Definisi:
Tuturan performatif (performative
utterance): tuturan yang memperlihatkan bahwa suatu perbuatan telah
diselesaikan pembicara dan bahwa dengan mengungkapkannya berarti perbuatan itu
diselesaikan pada saat itu juga; misalnya: dalam ujaran Saya mengucapkan terima
kasih, pembicara mengujarkannya dan sekaligus menyelesaikan perbuatan
“mengucapkan” (Kridalaksana, 1984: 2001). Performative (in speech act theory):
an utterance which performs an act, such as Watch out (=a warning), I
promise not to be late (= a promise). ((Richards dkk., 1989: 212). Secara
ringkas dikatakan pula bahwa tuturan performatif adalah tuturan untuk melakukan
sesuatu (perform the action). Tuturan performatif tidak dievaluasi
sebagai benar atau salah, tetapi sebagai tepat atau tidak tepat, misalnya: I
promise that I shall be there (Saya berjanji bahwa saya akan hadir di sana)
dan performatif primer atau tuturan primer I shall be there (Saya akan
hadir di sana) (Geoffrey Leech (terjemahan), 1993: 280).
Contoh:
1. Saya berterima
kasih atas kebaikan Saudara. (Tindakan berterima kasih: the act of thanking)
2. Saya mohon
maaf atas keterlambatan saya. (Tindakan mohon maaf: the act of apologizing).
3. Saya namakan
anak saya Parikesit. (Tindakan memberi nama: the act of naming).
4. Saya
bertaruh Mike Tyson pasti menang. (Tindakan bertaruh: the act of betting).
5. Saya
nyatakan Anda berua suami-isteri. (Tindakan menyatakan/menikahkan: the act
of marrying).
6. Saya
serahkan semua harta saya kepada anak saya. (Tindakan menyerahkan: the act
of bequeting).
7. Saya akan
pergi sekarang. (Tindakan pergi: the act of going).
Ciri-ciri
tindakan performatif
v
Subyek harus orang pertama, bukan
orang kedua atau ketiga.
v
Tindakan sedang/akan dilakukan
Kalau dalam
bahasa Inggris, subjek orang pertama dan kala-nya present tense.
Austin dalam
menentukan ciri-ciri tuturan performatif ini hanya melihat aspek gramatikalnya
saja. Akhirnya direvisi (dilengkapi) oleh murid-muridnya, yaitu dengan adanya
syarat-syarat lainnya yang disebut syarat tuturan performatif (felicity
condition). Syarat-syarat itu antara lain:
1. Orang yang menyatakan tuturan dan
tempatnya harus sesuai atau cocok. Misalnya: Saya nyatakan Anda berdua
suami-isteri. Penuturnya adalah penghulu (naib), pendeta, rama, tempatnya
di KUA, Gereja, Pura, Masjid, objeknya 2 orang (berdua).
2. Tindakan harus dilakukan secara
sungguh-sungguh oleh penutur. Misalnya: Saya mohon maaf atas kesalahan saya.
Harus diucapkan sungguh-sungguh, tidak dengan tindakan menginjak kaki
mitra tutur-nya.
Syarat itu juga belum cukup,
kemudian diperbaharui lagi oleh John Searle, sebagai berikut.
1. Penutur
harus memiliki niat yang sungguh-sungguh dalam mengemukakan tuturannya. Misalnya: Saya berjanji akan setia padamu. (the
act of promising).
2. Penutur
harus yakin bahwa ia mampu melakukan tindakan itu. atau mampu melakukan apa
yang dinyatakan dalam tuturannya. Misalnya: Besok kubawakan kau makanan. (yakin
tidak, kalau tidak berarti bukan tuturan performatif).
3. Tuturan harus
mempredikasi tindakan yang akan dilakukan, bukan yang telah dilakukan. Misalnya: Saya berjanji akan
setia.
4. Tuturan
harus mempredikasi tindakan yang akan dilakukan oleh penutur, bukan oleh orang lain. Misalnya:
Saya berjanji bahwa saya akan selalu datang tepat
waktu.
5.
Tindakan harus dilakukan secara
sungguh-sungguh oleh kedua belah pihak.
Misalnya: Aku minta maaf, atas tindakaku yang menyakiti hatimu. (Orang pertama dan
kedua melakukan tindakan secara sungguh-sungguh).
Kalau
tuturan tidak memenuhi kelima syarat tersebut, maka tuturan itu dikatakan tidak
valid (infelicition).
Tuturan konstatif atau deskriptif (constative
utterance): tuturan yang dipergunakan untuk menggambarkan atau memerikan
peristiwa, proses, keadaan, dsb. dan sifatnya betul atau tidak betul
(Kridalaksana, 1984: 2001)., atau Austin mengatakan bahwa tuturan konstatif
dapat dievaluasi dari segi benar-salah (Geoffrey Leech (terjemahan), 1993:
316).
Misalnya:
1. Ali pergi ke
Jakarta
2. Saya tidur
di hotel.
A constative is an utterance which assert something that is either true
or false; for example, Chicago is in
the United States (Richards dkk., 1989: 212-213).
III.
TINDAK TUTUR
(Speech Act)
A.
Pengertian
Tindak tutur (istilah Kridalaksana
‘pertuturan’ (speech act, speech event):
pengujaran kalimat untuk menyatakan agar suatu maksud dari pembicara
diketahui pendengar (Kridalaksana, 1984: 154) Speech act: an utterance as a
functional unit in communication (Richards et al, 1989: 265). Di dalam
mengatakan suatu kalimat, seseorang tidak semata-mata mengatakan sesuatu dengan
pengucapan kalimat itu. Di dalam pengucapan kalimat ia juga “menindakkan”
sesuatu. Dengan pengucapan kalimat Mau
minum apa? si pembicara tidak semata-mata menanyakan atau meminta jawaban
tertentu; ia juga menindakkan sesuatu, yakni menawarkan minuman. Seorang ibu
rumah pondokan putri, mengatakan Sudah
pukul sepuluh. ia tidak semata-mata memberi tahu keadaan jam pada waktu
itu; ia juga menindakkan sesuatu, yaitu memerintahkan si mitratutur supaya
pergi meninggalkan rumah pondokannya.
Hal-hal apa sajakah yang dapat
ditindakkan di dalam berbicara? Ada cukup banyak; antara lain, permintaan (requests),
pemberian izin (permissons), tawaran (offers), ajakan (invitation),
penerimaan akan tawaran (acceptation of offers)
B. Tindak
Tutur dan jenis-jenisnya
Tindak tutur
(selanjutnya TT) atau tindak ujaran (speech act) mempunyai kedudukan
yang sangat penting dalam pragmatik karena TT adalah satuan analisisnya. Uraian
berikut memaparkan klasifikasi dari berbagai jenis TT.
1 Lokusi,
Ilokusi, dan Perlokusi
Austin (1962) dalam How to do Things
with Words mengemukakan bahwa mengujarkan sebuah kalimat tertentu dapat
dipandang sebagai melakukan tindakan (act), di samping memang
mengucapkan kalimat tersebut. Ia membedakan tiga jenis tindakan yang berkaitan
dengan ujaran, yaitu lokusi, ilokusi, dan perlokusi.
Lokusi adalah
semata-mata tindak berbicara, yaitu tindak mengucapkan sesuatu dengan kata dan
kalimat sesuai dengan makna kata itu (di dalam kamus) dan makna kalimat itu
sesuai dengan kaidah sintaksisnya. Di sini maksud atau fungsi ujaran itu belum
menjadi perhatian. Jadi, apabila seorang penutur (selanjutnya disingkat P) Jawa
mengujarkan “Aku serak” dalam tindak lokusi kita akan mengartikan “aku”
sebagai ‘pronomina persona tunggal’ (yaitu si P) dan “serak” mengacu ke ‘tenggorokan kering dan perlu dibasahi’, tanpa
bermaksud untuk minta minum.
Ilokusi adalah
tindak melakukan sesuatu. Di sini kita mulai berbicara tentang maksud dan
fungsi atau daya ujaran yang bersangkutan, untuk apa ujaran itu dilakukan.
Jadi, “Aku ngelak” yang diujarkan oleh P dengan maksud ‘minta minum’
adalah sebuah tindak ilokusi.
Perlokusi mengacu ke
efek yang ditimbulkan oleh ujaran yang dihasilkan oleh P. Secara singkat,
perlokusi adalah efek dari TT itu bagi mitra-tutur (selanjutnya MT). Jadi, jika
MT melakukan tindakan mengambilkan air minum untuk P sebagai akibat dari TT itu
maka di sini dapat dikatakan terjadi tindak perlokusi.
2.
TT Representatif, Direktif,
Ekspresif, Komisif, dan Deklaratif
Searle
(1975) mengembangkan teori TT dan membaginya menjadi lima jenis TT (dalam
Ibrahim, 1993: 11-54). Kelima TT itu sebagai berikut:
(1) TT representatif yaitu TT yang
mengikat P-nya kepada kebenaran atas apa yang dikatakannya, misalnya menyatakan, melaporkan,
menunjukkan, dan menyebutkan.
(2) TT direktif yaitu TT yang dilakukan
P-nya dengan maksud agar si pendengar atau MT melakukan tindakan yang
disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya menyuruh, memohon, menuntut,
menyarankan, dan menantang.
(3) TT ekspresif ialah TT yang dilakukan
dengan maksud agar ujarannya diartikan sebagai evaluasi mengenai hal yang
disebutkan di dalam ujaran itu, misalnya memuji, mengucapkan terima kasih, mengeritik,
dan mengeluh.
(4) TT komisif adalah TT yang mengikat
P-nya untuk melaksanakan apa yang disebutkan di dalam ujarannya, misalnya
berjanji dan bersumpah.
(5) TT deklaratif merupakan TT yang
dilakukan P dengan maksud untuk menciptakan hal (status, keadaan, dan
sebagainya) yang baru, misalnya memutuskan, membatalkan, melarang, mengizinkan,
dan memberi maaf.
Pada
bagian terdahulu telah disinggung bahwa di dalam komunikasi satu fungsi dapat
dinyatakan atau diutarakan melalui berbagai bentuk ujaran. Untuk maksud atau fungsi
“menyuruh”, misalnya, menurut Blum-Kulka (1987) (lihat Gunarwan, 1993: dapat
diungkapkan dengan menggunakan berbagai ujaran sebagai berikut.
(1) Kalimat bermodus imperatif : Meja
ini mempersempit jalan laluan.
(2) Performatif eksplisit :
Bisa minta tolong menggesarkan meja.
(3) Performatif
berpagar :
Bisa tidak kita pindahkan meja in?
(4) Pernyataan
keharusan :
Anda harus memindahkan meja ini.
(5) Pernyataan
keinginan
: Aku ingin memindahkan meja ini.
(6) Rumusan
saran :
Bagaimana ya kalau meja ini dipindahkan.
(7) Persiapan
pertanyaan :
Anda bisa memindahkan meja ini?
(8) Isyarat
kuat :
Meja ini harus dipindahkan karena menghalangi jalan laluan.
(9) Isyarat
halus :
Jalan laluan ini kok sempit ya?
3. TT Langsung vs TT Tidak Langsung
Dari sembilan bentuk ujaran tersebut
diperoleh sembilan TT yang berbeda-beda derajat kelangsungannya dalam
menyampaikan maksud ‘menyuruh memindahkan meja’ itu. Hal ini berkaitan dengan
tindak tutur langsung (TT-L) dan tindak tutur tidak langsung (TT-TL). Derajat
kelangsungan TT dapat diukur berdasarkan “jarak tempuh” antara titik ilokusi (
di benak P) ke titik tujuan ilokusi (di benak MT). Derajat kelangsungan dapat
pula diukur berdasarkan kejelasan pragmatisnya: makin jelas maksud ujaran makin
langsunglah ujaran itu, dan sebaliknya. Dari kesembilan bentuk ujaran tersebut,
yang paling samar-samar maksudnya ialah bentuk ujaran (9), berupa isyarat
halus. Karena kata “meja” sama sekali tidak disebutkan oleh P dalam ujaran (9),
maka MT harus mencari-cari konteks yang relevan untuk dapat menangkap maksud P.
Selain TT-L dan TT-TL, P dapat juga
menggunakan tindak tutur harafiah (TT-H) atau tindak tutur tidak harafiah
(TT-TH) di dalam mengutarakan maksudnya. Jika kedua hal itu, kelangsungan dan
keharafiahan ujaran, digabungkan maka akan didapatkan empat macam ujaran,
yaitu:
(1)
TT-LH : “Buka mulut”, misalnya
diucapkan oleh dokter gigi kepada pasiennya.
(2)
TT-LTH : “Tutup mulut”, misalnya
diucapkan oleh seseorang yang jengkel kepada
MT-nya yang selalu “cerewet”.
(3)
TT-TLH : “Bagaimana kalau mulutnya
dibuka?”, misalnya diucapkan oleh dokter
gigi kepada pasien yang masih kecil agar anak itu tidak takut.
(4)
TT-TLTH : “Untuk menjaga rahasia, lebih baik jika
kita semua sepakat menutup mulut kita masing-masing”, misalnya diucapkan oleh P
yang mengajak MT-nya untuk tidak membuka rahasia.
Dengan
demikian, secara ringkas, berdasarkan uraian dan contoh-contoh di atas dapat
dicatat ada delapan TT sebagai berikut (bandingkan Wijana, 1996: 36).
(1)
Tindak tutur langsung (TT-L)
(2)
Tindak tutur tidak langsung (TT-TL)
(3)
Tindak tutur harafiah (TT-H)
(4)
Tindak tutur tidak harafiah (TT-TH)
(5)
Tindak tutur langsung harafiah (TT-LH)
(6)
Tindak tutur tidak langsung harafiah (TT-TLH)
(7)
Tindak tutur langsung tidak harafiah (TT-LTH)\
(8)
Tindak tutur tidak langsung tidak harafiah (TT-TLTH)
Apabila seseorang menggunakan bahasa,
maka ada 3 jenis tindakan atau tindak tutur (selanjutnya disingkat TT), yaitu
lokusi, ilokusi, dan perlokusi. Hal ini sejalan dengan pendapat Austin (1962)
yang melihat adanya tiga jenis tindak ujar, yaitu tindak lokusi
(melakukan tindakan mengatakan sesuatu), tindak ilokusi (melakukan tidakan
dalam mengatakan sesuatu), dan tindak perlokusi (melakukan tindakan dengan
mengatakan sesuatu). Misalnya:
1.
|
Lokusi
|
n mengatakan kepada t bahwa X.
(merupakan
tindak mengatakan sesuatu: menghasilkan serangkaian bunyi yang berarti
sesuatu. Ini merupakan aspek bahasa yang merupakan pokok penekanan linguistik
tradisional).
|
2.
|
Ilokusi
|
Dalam mengatakan X, n menegaskan (asserts)
bahwa P.
(Dilakukan
dengan mengatakan sesuatu, dan mencakup tindak-tindak seperti bertaruh,
berjanji, menolak, dan memesan. Sebagian verba yang digunakan untuk melabel
tindak ilokusi bisa digunakan secara performatif. Dengan demikian mengatakan Saya
menolak bahwa X sama halnya menolak bahwa X.)
|
3.
|
Perlokusi
|
Dengan mengatakan X, n meyakinkan (convinces)
t bahwa P.
(Menghasilkan
efek tertentu pada pendengar. Persuasi merupakan tindak perlokusi: orang
tidak dapat mempersuai seseorang tentang sesuatu hanya dengan mengatakan Saya
mempersuasi anda. Contoh-contoh yang sesuai adalah meyakinkan,
melukai, menakut-nakuti, dan membuat tertawa)
|
Perbedaan kekuatan antara perlokusi dan
ilokusi tidak selalu jelas. Misalnya, suruhan (request) memiliki kekuatan
esensial untuk membuat pendengar melakukan sesuatu. Kesulitan dalam definisi
ini muncul dari urutan tindakan yang banyak diabaikan oleh teori tindak tutur.
Kesulitan itu juga muncul dari dasar definisi maksud penutur, yang merupakan
keadaan psikologis yang tidak bisa diobservasi (lihat Abd. Syukur Ibrahim,
1993: 115).
1. TT lokusi: Austin, perbuatan bertutur,
hal mengungkapkan sesuatu atau menyatakan sesuatu (locutionary speech act).
Misalnya: Dia sakit.
Kaki manusia dua.
Pohon punya daun.
Wacana-wacana
ilmiah yang tidak menekankan emosi termasuk TT lokusi. TT ini sangat sedikit
peranannya dalam pragmatik.
2. TT ilokusi: Austin, Searle, perbuatan yang
dilakukan dalam mengujarkan sesuatu atau melakukan sesuatu, mis. memperingatkan,
bertanya (illocutionary speech act).
Misalnya: Saya berjanji.
Ibunya di rumah! (bisa bermaksud melarang datang menemui anaknya)
Bapaknya galak! (bisa melarang jangan ke sana)
Saya tidak dapat datang. (minta maaf)
Kula nyuwun sekilo. (membeli)
Temboknya dicat! (jangan dekat tembok itu)
Adoh lho le! (jangan ke sana)
3. TT
perlokusi: Austin, Searle, perbuatan yang dilakukan dengan mengujarkan sesuatu,
membuat orang lain percaya akan sesuatu dengan mendesak orang lain untuk
berbuat sesuatu, dll. atau mempengaruhi orang lain (perlocutionary
speech act)
Misalnya: Tempat itu jauh.
Tempat itu
jauh
Lokusi
|
Lokusi
|
Perlokusi
|
Tempat itu jauh.
|
Tempat itu jauh.
|
Tempat itu jauh.
|
mengandung pesan.
|
Metapesan
‘Jangan pergi ke sana!’
|
metapesan
(Dalam pikiran mitratutur ada keputusan)
“Saya
tidak akan pergi ke sana.”
|
4. Tindak tutur langsung-tidak langsung dan
literal-tidak literal
Berdasarkan isi kalimat atau tuturannya,
kalimat dapat dibedakan menjadi 3 macam, yaitu kalimat berita (deklaratif),
kalimat tanya (interogatif), dan kalimat perintah (imperatif).
Berita
|
Tanya
|
Perintah
|
Adiknya sakit.
|
Di mana
handuk saya?
|
Pergi!
|
Informasi
|
ya, tidak
(apa, intonasi)
informasi
(apa, siapa, di mana, kapan, ke mana, untuk apa, dsb.)
|
larangan, ajakan,
dan perintah biasa
|
TT
langsung
(direct
speech)
|
TT
langsung (direct speech)
|
TT
langsung (direct speech)
|
Berdasarkan
mudusnya, kalimat atau tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan langsung dan
tutran tidak langsung. Misalnya:
[Tuturan langsung]
A: Minta
uang untuk membeli gula!
B: Ini.
[Tuturan tidak langsung]
A: Gulanya
habis, nyah.
B: Ini
uangnya. Beli sana!
Kadang-kadang
secara pragmatis kalimat berita dan tanya digunakan untuk memerintah, sehingga
merupakan TT tidak langsung (indirect speech). Hal ini merupakan sesuatu
yang penting dalam kajian pragmatik. Misalnya:
1. Rumahnya jauh. (ada maksud: jangan
pergi ke sana).
2. Adiknya
sakit. (ada maksud: jangan ribut atau tengoklah!)
Berdasarkan
keliteralannya, tuturan dapat dibedakan menjadi tuturan literal dan tuturan tidal literal.
1.
Tuturan literal: tuturan yang sesuai
dengan maksud atau modusnya. Misalnya, Buka mulutnya! (makna lugas: buka).
2.
Tuturan tidak literal: tuturan yang
tidak sesuai dengan maksud dalam tulisan/tuturan. Misalnya,
Buka
mulutnya! (makna tidak lugas: tutup). Hal ini disebut juga ‘ironi’
Dalan bahasa kadang-kadang terjadi, yang bagus
dikatakan jelek (hal ini disebut bertolak belakang, yang jelek dikatakan bagus
(disebut ‘ironi’).
Masing-masing tindak tutur
(langsung, tidak langsung, literal, dan tidak literal) apabila disinggungkan
(diinterseksikan) dapat dibedakan menjadi 8 macam seperti sebagai berikut.
1. TT
langsung
2. TT tidak
langsung
3. TT
literal
4. TT tidak
literal
5. TT
langsung literal
6. TT tidak
langsung literal
7. TT
langsung tidak literal
8. TT tidak
langsung tidak literal
Misalnya,
kalimat Radionya kurang keras
1.
|
TT
langsung
|
Radione
kurang keras.
|
betul-betul
kurang keras.
|
2.
|
TT tidak
langsung
|
keraskan
radionya!
|
|
3.
|
TT literal
|
betul-betul
kurang keras.
|
|
4.
|
TT tidak
literal
|
suara
radionya keras sekali.
|
|
5.
|
TT
langsung literal
|
betul-betul
kurang keras
|
|
6.
|
TT tidak
langsung literal
|
keraskan
radionya!
|
|
7.
|
TT
langsung tidak literal
|
suara
radionya keras sekali.
|
|
8.
|
TT tidak
langsung tidak literal
|
matikan!
|
IV.
PRINSIP KERJA SAMA
(Cooperative Principle)
Sebelum belajar tentang ‘prinsip kerja
sama’, kita perlu belajar tentang ‘asumsi pragmatik’. Kalau orang berbicara
kepada orang lain pasti ingin mengemukakan sesuatu. Selanjutnya orang lain
diharapkan menangkap apa (hal) yang dikemukakan. Dengan adanya 2 tujuan ini,
maka orang akan berbicara sejelas mungkin, tidak berbelit-belit, ringkas, tidak
berlebihan, berbicara secara wajar (termasuk volume suara yang wajar). Dalam
pragmatik terdapat penyimpangan-penyimpangan, ada maksud-maksud tertentu,
tetapi ia harus bertanggung jawab atas penyimpangan itu, sehingga orang lain
bisa mengetahui maksudnya. Mereka harus bekerja sama.
Di dalam berkomunikasi, antara P dengan
MT harus saling menjaga prinsip kerja sama (cooperative principle) agar
proses komunikasi berjalan dengan lancar. Tanpa adanya prinsip kerja sama
komunikasi akan terganggu. Prinsip kerja sama ini terealisasi dalam berbagai
kaidah percakapan. Secara lebih rinci, Grice menjabarkan prinsip kerja sama itu
menjadi empat maksim percakapan (periksa Gunarwan, 1993: 11; Lubis, 1993: 73;
dan bandingkan pula Wijana, 1996: 46-53). Keempat maksim percakapan itu ialah
sebagai berikut.
A.
Maksim
kuantitas:
1.
Berikan informasi Anda secukupnya
atau sejumlah yang diperlukan oleh MT.
2.
Bicaralah seperlunya saja, jangan mengatakan
sesuatu yang tidak perlu.
B.
Maksim kualitas:
1.
Katakanlah hal yang sebenarnya.
2.
Jangan katakan sesuatu yang Anda
tahu bahwa sesuatu itu tidak benar.
3.
Jangan katakan sesuatu tanpa bukti
yang cukup.
C.
Maksim relevansi:
1.
Katakan yang relevan.
2.
Bicaralah sesuai dengan
permasalahan.
D.
Maksim cara:
1.
Katakan dengan jelas.
2.
Hindari kekaburanan ujaran.
3.
Hindari ketaksaan.
4.
Bicaralah secara singkat, tidak
bertele-tele.
5.
Berkatalah secara sistematis.
Kenyataan membuktikan, di dalam
percakapan sehari-hari tidak jarang kita temukan praktik-praktik pelanggaran
terhadap maksim-maksim Grice tersebut. Akan tetapi, bagi pengamat pragmatik,
justeru pelanggaran-pelanggaran itulah yang menarik untuk dikaji: mengapa P
melakukan pelanggaran terhadap maksim tertentu, ada maksud apa di balik
pelanggaran maksim tersebut? Misalnya, mengapa P yang bermaksud meminjam uang
atau memerlukan bantuan kepada MT biasanya diawali dengan menceritakan secara
panjang lebar keadaan dirinya seraya disertai dengan janji-janji? Apakah itu
berlaku secara universal? Bukankah tindakan tersebut melanggar maksim
kuantitas?
Pada hemat saya, di antara empat maksim
itu, maksim ketiga atau maksim relevansilah yang paling penting sebab betapa
pun informasi yang kita sampaikan itu cukup serta disampaikan dengan cara yang
jelas, sistematis, dan tidak ambigu, kalau informasi itu tidak relevan dengan
permasalahan toh tidak akan membawa manfaat. Sejauh mana asumsi ini
benar juga masih memerlukan pengkajian secara pragmatis.
Asumsi pragmatik ini merupakan titik
acuan (point of reference). Untuk memenuhi komunikasi secara wajar dan
terjadi kerja sama yang baik, maka dalam komunikasi harus memenuhi prinsip
(maksim). Dalam pragmatik dikontrol oleh maksim (principle controlled),
sedangkan dalam gramatika/ tatabahasa diatur oleh kaidah (rule governed).
Terdapat
beberapa asumsi pragmatik, yaitu:
1. Maksim Kuantitas
Berbicara sejumlah yang dibutuhkan oleh
pendengar. Kalau lebih berarti ada tujuannya. Misalnya: Ibu kota Provinsi
Jawa Timur Surabaya. (Secara kuantitas cukup jelas). Ibu kota Provinsi
Jawa Timur Sura …… Tuturan ini disampaikan oleh guru, lalu murid menjawab
….. baya.
2. Maksim
Kualitas
Prinsip yang menghendaki orang-orang
berbicara berdasarkan bukti-bukti yang memadai. Misalnya: Buku itu dibuat
dari kertas. Bukti cukup memadai, tetapi apabila ada tuturan *Buku itu
dibuat dari nasi, bukti tidak memadai. Dalam kaitannya dengan maksim
kualitas, terdapat penyimpangan maksim, misalnya Modal saja tidak bisa dan
Untung saja tidak dapat.
3. Maksim relevansi
Penutur dan
mitra tutur berbicara secara relevan berdasarkan konteks pembicaraan.
Misalnya:
A : Sekarang
jam berapa?
B
: Azan baru saja terdengar
Jawaban dari MT tidak langsung menjawab tentang satuan waktu, tetapi
direlevansikan dengan suara Adzan yang menunjukkan waktu salat.
4. Maksim cara
Tuturan
harus dikomunikasikan secara wajar, tidak boleh ambigu (taksa), tidak terbalik
(harus runtut).
Misalnya:
A : Dia
penyanyi solo.
B : Benar,
dia sering tampil di TVRI.
Tetapi
kadang-kadang dalam tuturan yang wajar terjadi dis-ambiguasi (pengawaambiguan),
sehingga kata-kata yang ambigu itu hanya satu makna.
Misalnya:
A : Kamu
penjahat kelas kakap, ya?
B : Bukan,
hiu.
A : Ini Tanah Abang, ya?
B : Jangan menghina, masak saya miskin seperti
ini punya tanah.
Keempat prinsip tersebut di atas termasuk
pada jenis ‘retorika tekstual’ sebab dalam pragmatik dikenal adanya retorika
tekstual dan retorika interpersonal.
Retorika
tekstual harus memenuhi 4 prinsip (maksim) kerja sama, yaitu
maksim kuantitas, maksim kualitas, maksim relevansi, dan maksim cara. Sedangkan
retorika interpersonal harus memperhitungkan orang lain. Jadi tidak
hanya bersifat tekstual.
Retorika
interpersonal membutuhkan prinsip kesopanan (politeness principle). Ada
6 macam prinsip agar memenuhi prinsip kesopanan.
Sebelum sampai pada prinsip kesopanan,
perlu mengingat kembali dari adanya kategori sintaktik yang terdiri dari
berita, tanya, dan perintah. Dalam kategori pragmatik didasarkan pada fungsi
komunikatifnya. Yang diperhatikan adalah tuturan. Dalam kaitannya dengan
kategori pragmatik ini ada tuturan komisif, tuturan impositif (direktif),
tuturan asertif, tuturan ekspresif.
1. Tuturan komisif: berjanji, menawarkan.
Misalnya:
Saya akan datang.
Boleh saya bawakan?
Saya akan setia.
Swear.
2. Tuturan impositif
(direktif): menyuruh, memerintah, memohon. Misalnya:
Apakah
Anda bisa menolong saya.
Saya akan datang
(ada
efek yang lain untuk memerintah)
3. Tuturan asertif:
menyatakan sesuatu (objektif). Misalnya:
Bali
terletak di sebelah timur Pulau Jawa.
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Undilk memiliki 9 jurusan.
4. Tuturan ekspresif: menyatakan perasaan
(emosi). Misalnya:
Gedung itu indah sekali.
Gadis itu cantik sekali.
Kadang-kadang sulit dibedakan antara
tuturan asertif dengan ekspresif.
Selanjutnya
agar memenuhi prinsip (maksim) kesopanan, berikut ini inti 6 prinsip kesopanan
menurut Leech.
1. Maksim
kebijaksanaan/kedermawanan, tact maxim.
Ditujukan
pada orang lain (other centred maxim). Jenis maksim ini untuk berjanji
dan menawarkan (impositif, komisif).
v memaksimalkan
keuntungan orang lain, meminimalkan kerugian orang lain.
Misalnya:
A
: Ada yang bisa saya bantu?
Mari saya bawakan!
B : Tidak usah. Terima kasih.
Oh ya,.... terima kasih
Tuturan A dan B disebut pragmatik paradoks.
2. Maksim penerimaan (approbation maxim).
Ditujukan pada diri sendiri, bukan pada orang lain (self centred maxim).
Maksim penerimaan ini ditujukan untuk menawarkan dan berjanji.
v memaksimalkan
kerugian diri sendiri, meminimalkan keuntungan diri sendiri.
v
Misalnya:
Bolehkah saya bantu?
Mari saya bantu.
Apakah Anda bersedia membawakan..... ?
Bawakan ini! (tidak sopan)
Mai saya antarkan!
Tolong saya dihantarkan!
3. Maksim
kemurahhatian (generosity maxim). Pusatnya
orang lain (other centred maxim) Maksim ini ditujukan untuk kategori
asertif dan ekspresif.
v memaksimalkan
rasa hormat pada orang lain, meminimalkan rasa tidak hormat pada orang
lain.
Misalnya:
Rumahmu nyaman sekali sekali,
Pekaranganya luas, sayang kalau tidak ditanami.
4. Maksim kerendahhatian (modesty
maxim).
Pusatnya
pada diri sendiri (self centred maxim).
v meminimalkan
rasa hormat pada diri sendiri dan memaksimalkan rasa tidak hormat pada diri
sendiri.
Misalnya:
A : Kau sangat pandai.
B : Ah tidak, biasa-biasa saja.
A : Mobilnya bagus!
B : Ah, begini saja kok bagus.
5. Maksim kesetujuan atau kecocokan (agreement
maxim). Pusatnya pada orang lain (other
centred maxim). Ditujukan untuk menyatakan pendapat dan ekspresif.
v memaksimalkan
kesetujuan pada orang lain dan meminimalkan ketidaksetujuan pada orang lain.
Misalnya:
A : Rumah
pak Herman luas dan resik.
B : Iya, luas dan sejuk
A : Rumah
pak Herman luas dan resik.
B : Ah ... biasa saja kok ... malah kurang nyaman.
(Ketidaksetujuan total / tidak
sopan)
A : Wah, cantik sekali kamu?
B : Iya, kaya kera .... .
(Ketidaksetujuan
parsial / sopan)
6. Maksim kesimpatian (symphaty maxim).
Pusatnya orang lain (other centred maxim). Ditujukan untuk menyatakan asertif dan
ekspresif.
v memaksimalkan
simpati pada orang lain dan meminimalkan antipati pada orang lain.
Misalnya:
A : Saya
lolos di UMPTN, Jon.
B : Selamat,
ya.
A : Baru-baru
ini dia telah meninggal.
B : Oh,
saya turut berduka cita.